Karena emak tak lagi punya kata-kata

Lelaki muda berwajah cerah
Di genggamannya tak luput sepetak gawai
Sibuk tak berwaktu
Ditelan masa disita kesenangan semu

Lelaki itu dibentak emaknya
Secangkir kopi panas dan mie sagu di atas meja kayu
Membisu tak diindahkan tuannya
Asap mengepul telah pergi seiring beranjaknya lelaki muda itu menuju pintu

Terdengar emak kembali menyinyir
Disimpannya kopi mie sagu di bawah tudung
Emak keluar menyaksikan tetangga memasang bendera
Mata emak sedikit berbinar

Kaleng-kaleng cat beradu
Suara palu bertalu-talu menokok paku
Jalur yang dikenal sebagai perahu
Dibentuk mencapai empat puluh meter
Semakin indah dengan ukiran yang estetis

Para pemuda dan lelaki dewasa berkelakar di sela-sela kopi yang mengepul
Kue talam, wajik, dan kerupuk sagu tersaji
Air mata emak mengalir di antara segaris senyumnya

Tepian sungai telah ramai
Limau kape, kunik bolai, sirih, sidingin, cikorau, pinang, mayang pinang, limau mentimun, puduang, jeriangau, dan kemenyan,
masa itu pernah menjadi tradisi
Dukun dikenal sebagai yang serba tahu akan jalur
Mantra-mantra menjadi tameng
Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah
Mantra pun beralih pada pujian Laa Ilaha Illallah..

Emak mendapati anak lelakinya di tepi sungai
Memainkan gawai tak pernah letih
Mata emak semakin cekung ditimpa matahari
Tapi, emak tak lagi menyinyir
Bibirnya terkunci
Hanya hatinya yang terus meracau
Batinnya bertengkar dengan perasaannya

“Marilah ikut berpacu, anak muda!” Ajak lelaki dewasa
Anak emak bergeming
Gawai lebih menarik perhatiannya
“Engkau tak malu kah pada bapakmu?” lanjut lelaki dewasa
Anak emak diam saja
“Ayo! Jangan sampai engkau sebut merdeka, tapi jiwamu terbelenggu!” Bentak lelaki dewasa.

Lelaki muda itu menatap emaknya
Emak menggangguk memberi isyarat sambil menyimpan setitik air di sudut matanya

Anak lelaki itu bangkit
Memilih menjadi tukang timba di tengah-tengah jalur
Jalur mengikuti aba-aba
Penari memainkan irama keabadian
Tentang keberanian, ketangguhan, kecintaan, dan tentang penolakan pada ketidakadilan dan hegemoni
Penari dalam ilusi menyuarakan nasib warga berkepanjangan
Menari dan terus menari
Sampai sejagad bisa mengerti

Air mata emak jatuh
Sorak sorai penonton membahana
Jalur menepi menggapai finis
Lelaki muda terengah-engah memeluk emak
“Lelah, Mak,” keluhnya
“Begitulah, ayahmu telah lama menyimpan lelahnya untukmu,” emak bersuara

Lelaki muda itu menunduk
Di antara pekikan merdeka dari penonton,
Ia bangkit dan mengajak emak
Di sudut makam yang tidak terawat itu
Anak lelaki itu memeluk nisan bertuliskan nama bapaknya
Emak tak lagi menyinyir
Karena emak tak lagi punya kata-kata

***

Pengarang
Nama Potensi	Tempat
Baca Lebih Lengkap